top of page

Suster Apung dan politik citra


Naskah asli dimuat di www.saifulhaq.com

Tahun 2006, kompetisi film dokumenter Eagle Award digelar Metro TV, saat itu Suster Apung yang disutradarai sineas muda Andi Arfan Sabran dan Supardi Suparman terpilih menjadi film terbaik sekaligus terfavorit pilihan pemirsa. Tidak hanya menang dalam penilaian teknis perfilman, tapi film ini sekaligus menguak kisah tentang seorang suster, Hj Rabiah, yang berjuang melawan kerasnya ombak demi memberikan pelayanan kepada masyarakat di hampir dua puluh pulau kecil di kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Film ini juga menyedot perhatian public secara luas, tidak terkecuali Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Hj Rabiah, sang Suster Apung itu kini menggugat penayangan iklan politik oleh Sutrisno Bachir, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) yang memuat gambar dan kisah dirinya. Dengan tegas dia menolak menjadi komoditas politik untuk individu atau partai politik tertentu. Ternyata seorang Suster Rabiah tidak hanya berani melawan ombak, tapi juga berani menolak eksploitasi dirinya untuk kepentingan politik sesaat, apalagi jika hanya untuk popularitas sesaat.

Fenomena Iklan Politik

Tidak hanya Sutrisno Bachir, iklan politik sangat ramai akhir-akhir ini, mulai dari iklan politik dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Wiranto, hingga Rizal Mallarangeng. Kemasannya pun berbeda-beda, mulai dari issue nasionalisme Indonesia Raya versi Gerindra, issue petani versi Prabowo, issue pemimpin muda versi Rizal Mallarangeng, gaya iklan yang menyorot kenijakan Presiden SBY versi Wiranto, hingga iklan yang dibungkus ucapan selamat hari kemerdekaan RI, versi Sutrisno Bachir. Semua ini seakan menegaskan hasil survei Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi-Demos, dalam laporannya disebutkan bahwa aktor politik semakin sadar bahwa era demokratisasi sekarang menjadi era politik citra, mereka mulai memakai issue-issue yang selama ini diusung oleh kelompok pro demokrasi dan lembaga swadaya masyarakat. Masalahnya kemudian, bukan hanya sekedar politik citra, inilah politik citra yang oportunistik, tegas Demos dalam laporannya.

Logika politik citra seperti itu bersandar pada asumsi dagang belaka, prinsip-prinsip pemasaran produk diadopsi ke dalam ranah politik. Premis awalnya adalah bahwa masyarakat Indonesia masih cukup bisa diyakinkan melalui kemasan iklan yang cantik, sehingga para kandidat dan partai yang layaknya sebuah produk merasa butuh untuk menyisihkan biaya pemasaran dengan memasang iklan politik di media massa, para aktor ini berkeyakinan bahwa dengan iklan yang penuh dengan jargon-jargon politik yang dibumbui dengan sentuhan audio-visual oleh tangan profesional, masyarakat pemilih akan tergoda untuk memberikan suaranya.

Keyakinan ini makin diperkuat dengan masuknya artis-artis dalam kancah politik lokal maupun nasional, popularitas menjadi kata kunci dalam politik citra. Sayangnya popularitas ini tidak disertai dengan niat politik yang tulus, issue yang diangkat juga merupakan issue yang sifatnya umum, tidak aktual dan tidak menyentuh langsung pada solusi penyelesaian masalah. Sebagai contoh, tidak satupun iklan politik yang berani mengangkat masalah spesifik seperti kasus pelanggaran HAM, refomasi intelijen, penyelesaian kasus Munir, atau korupsi. Untuk kasus iklan politik Sutrisno Bachir, malah meminjam popularitas orang lain untuk mendongkrak popularitasnya. Para aktor ini lebih memeilih menghamburkan milyaran rupiah untuk memasang iklan di media massa, dibanding bersusah payah melakukan kerja-kerja pengorganisasian politik ke basis massa. Inilah politik citra yang oportunistik itu, politik tanpa keringat. Dalam politik citra, sebagaimana dibahasakan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), “presiden bisa lahir dari mesin ATM”.

Untungnya Masih Ada Suster Apung

Idealnya aktor politik merupakan representasi dari konstituen yang diwakilinya, dengan bermunculannya banyak kandidat independen maupun yang berasal dari partai politik, maka pronsip representasi tidak lagi punya tempat dalam demokrasi di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, ketidakjelasan pertanggungjawaban politik akan menjadi satu keruwetan tersendiri, dengan memasang iklan di media massa, maka para kader berharap akan meraup banyak suara, namun sayangnya suara-suara itu bukan merupakan buah dari kerja-kerja politik, lebih sebagai hasil kreatif dari strategi pemasaran, sehingga suara tersebar di berbagai konstituen dan sulit untuk dilacak. Pada titik ini, pemilih dan yang dipilih tidak punya kontrak politik sama sekali, dan pada saat yang bersamaan tidak ada mekanisme pertanggungjawaban atas tindakan politik yang diambil para kandidat. Alih-alih berharap adanya peningkatan kualitas demokrasi, para elit politik malah terjebak untuk mengekalkan politik massa mengambang, dimana rakyat tidak hadir menjadi sebuah komunitas politik yang didasarkan pada platform politik tertentu, malah disuguhi issue politik harian yang dimainkan oleh elit politik.

”Saya menolak menjadi komoditas politik, saya hanya bekerja untuk kemanusiaan”, demikian ditegaskan oleh Suster Rabiah sang Suster Apung, untungnya masih ada seseorang seperti beliau, kepopulerannya tidak dihasilkan dalam hitungan hari dan rupiah, tapi melalui kerja-kerja nyata dengan berbagai resiko yang harus dihadapinya. Diapun tidak tergoda untuk memanfaatkan popularitasnya untuk kepentingan politik sesaat. Seharusnya partai dan elit politik bisa berkaca pada sosok seperti Suster Apung, kader-kader partai politik seharusnya seperti itu, berada dan bekerja di tengah massa rakyat, sehingga ketika pemilu tiba, tidak lagi membuang biaya yang besar untuk kebutuhan iklan di media massa, masalah bangsa ini tidak bisa selesai hanya dengan spot iklan yang mahal, tapi dengan kerja nyata, kerja politik***

Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page