top of page

Siapa yang Sanggup Membunuh Kenangan


Dipublikasi dalam katalog LandingSoon #6 Cemeti Art House tahun 2008

oleh : Tonny Trimarsanto

“Ternyata, sulit membuat film sejarah. Apalagi, ini dokumenter !”

Demikian, diungkapkan Arfan. Ia lebih senang untuk mengerjakan film, bukan dengan tema sejarah. Apalagi, isunya cukup besar, yang diangkat dalam filmnya. Menyangkut peristiwa G30SPKI (yang disebut demikian, oleh pemerintah). Paling tidak beban inilah yang dirasakan Arfan.

Barangkali, sudah begitu banyak film tentang peristiwa 1965 itu. Baik yang dilahirkan dari genre dokumenter, ataupun fiksi. Karya yang lahir, pasti akan dibandingkan. Alhasil, menjadi tidak mudah dan sederhana, kemunculannya. Masyarakat paham benar, sudah begitu akrab dengan narasi yang dipropagandakan. Anatomi film film dengan tema peristiwa besar tersebut, telah terbaca. Demikian akrabnya, dengan cerdas mereka akan bisa menebak, gambar-gambar apa saja yang akan muncul dari film itu. Jika itu film tentang PKI, sudah tentu, akan menggunakan footage dan foto foto yang sudah ada diluar kepala penonton. Isu yang besar, namun acapkali menimbulkan keragu raguan bagi pembuat film manakala ingin mengangkat isu 1965 itu. Idiom idiom sinematik yang muncul, tak lagi mengejutkan.

Pada aspek lain, pembuat film dokumenter yang mencoba mengangkat peristiwa 1965, seringkali berdiri pada perspektif korban. Seperti apa pengalamannya. Bagaimana penyiksaan itu. Stigma yang penuh beban melekat, bahwa PKI (itu) berbahaya (?) Sampai pada datangnya keniscayaan, sebuah pembebasan formal yang tidak mempunyai makna kultural. Pengalaman pengalaman yang menyimpan aspek dramatik, sebagai pematik bentuk pertunjukan. Juga struktur babakan, serta aliran tutur tak lagi butuh kernyitan dahi.

Logika linear seperti itu memang dengan mudah –dan sangat sering- diucapkan dari banyak film dokumenter dengan tema peristiwa 1965. Dramaturgi yang mudah ditebak, film film dengan wajah wajah bersaksi penuh iba dan mohon empati (?). Juga orang orang yang tidak penting disekitar kita, namun terasa penting lantaran ia bersaksi dalam sebuah framing filmis. Memaksa penonton untuk bisa menancapkan kisahnya pada kepala. Lalu, pencapaian macam apakah yang akhirnya hendak dinarasikan dalam : Sahabat di Perbatasan Pagi ?

Sahabat di Perbatasan Pagi, nampaknya, tampil dengan cara ucap yang berbeda. Upaya untuk mengucapkan kembali, tanpa ada tudingan bahwa ini pengalaman. Tanpa ada klaim sebuah repetisi, kepala-kepala yang bersaksi, namun tak juga merubah sejarah. Peristiwa 1965, menyimpan teka teki besar dengan ratusan pengalaman yang berserak. Akan menjadi sebuah mozaik yang elok menawan, manakala semua tersusun dan dihadirkan kembali. Bahwa peristiwa 1965 tidak hanya menjadikan orang yang dituduh sebagai PKI, adalah korban. Pada aspek lain, penonton juga –penting untuk tahu- tentang bagaimana latarbelakang pelaku itu (para informan, orang partai non PKI) terlibat. Dramaturgi sistemik macam apa yang bergerak revolutif. Film ini, paling tidak, menyodorkan titik pandang yang agak melegakan. Asumsi ini akan menjadi pintu bagi terbukanya kembali ruang dialog, yang terkunci rapat, dari ratusan ribu keluarga Indonesia yang menjadi korban peristiwa 1965, dan juga akan mengandungi makna yang besar bagi ratusan ribu keluarga Indonesia yang lain, kenapa mereka (dipaksa) untuk menjadi pelaku. Dengan mengorbankan pada : persaudaraan, persahabatan yang berakhir pada tindakan pengkianatan –yang terpaksa.

***

Adalah dua orang sahabat. Pardiyo dan Seno. Sahabat sejak kecil. Teman bermain dan belajar. Namun, ideologi memaksa mereka berseberangan. Pardiyo, memilih menjadi PKI, karena teman temannya, demikian ungkap Seno. Dan Seno- pula, yang akhirnya menunjukan rumah Pardiyo, pada tentara yang kala itu tengah melakukan pengejaran massal pada anggota PKI. Pardiyo, yang guru pun ditangkap. Kaum intelektual, adalah sasarannya. Pembinasaan kaum cerdas, trampil. Pardiyo, ditangkap diasingkan selama 10 tahun, lamanya. Sebuah pengkhianatan ?

Itulah, kisah Sahabat di Perbatasan Pagi. Pardiyo dan Seno, menjadi begitu penting untuk dilihat. Sebab, ia mungkin juga wajah ambigu dalam masyarakat kita yang selama ini mencoba mengunci mulut dan telinga akan fakta. Kenapa Seno berkhianat –apakah ini namanya pengkhianatan- ? Dengan jujur, ia menjawab. Tentara sedang ganas ganasnya, waktu itu. Jika tidak memberi tahu, kita malah yang dituduh PKI. Pardiyo juga mengungkapkan, bahwa kala penangkapan dirinya, seorang tentara yang masuk ke rumahnya meminta maaf, kenapa ia terpaksa melakukan tindakan penangkapan itu. Bagi saya inilah tangga dramatik dalam film ini. Ternyata, siapapun adalah : korban ! Semuanya menjadi korban. Setiap orang adalah korban, tinggalmenungu lakon peran yang disodorkan.

Sebagai karya yang belum selesai, Sahabat di Perbatasan Pagi masih menyisakan segenap kemungkinan. Peluang untuk bisa mengatur kembali struktur, dramaturgi dan berpeluang lepas dari idealisasi ideologis tentang otensitas sejarah, juga berpeluang untuk menjadi karya yang sangat personal. Dalam dokumenter, setiap pembuat membutuhkan subyek subyek dengan kisah yang unik. Subyek itu harus mempunyai kemampuan artikulatif. Maaf, ini film dokumenter. Ada gambar, ada suara dan menyimpan kisah. Tidak melepaskan diri sepuas puasnya pada siapapun untuk meletakan dan melemparkan tafsir. Orang hanya akan mengerti, manakala ada informasi gambar yang dipadukan dengan suara . Itu informasinya. Sehingga memilih subyek film dengan kisah dan petualangannya yang menawan, akan sangat membantu mencairkan kreativitas pembuatnya.

Pardiyo dan Seno, adalah subyek film dengan karakter yang berbeda. Pardiyo, menginspirasikan tokoh tokoh yang selalu kalah, dengan garis garis wajah yang khas-bijak, ketika di framing kamera. Namun, kurang artikulatif dalam bertutur. Sementara Seno, sekalipun ia adalah pendidik, seakan telah mewakili pihak yang berseberangan. Dalam beberapa frame, Seno tampak begitu bangga dengan mengenakan kaos loreng, khas yang digunakan tentara. Arfan juga menambahi, bahwa properti tentara di rumah Seno begitu banyak dan sering ia pakai. Akan tetapi, ketika film jadi, tak banyak eksplorasi yang dilakukan oleh Arfan pada ruang ruang personal yang ada dalam diri subyek subyek itu. Tentu, akan menambah aspek estetik kekaryaan.

Pada aspek lain, saya jadi ingat pada kegelisahan banyak teman, tentang film dokumenter kita. Klaimnya, film dokumenter kita adalah gambar yang dihidup-hidupkan dengan suara. Asumsi ini, juga terbukti. Sesungguhnya, Arfan sadar betul bahwa suara, adalah elemen dramatik yang penting. Suara akan menjadi medium untuk bisa membawa penonton, melakukan lompatan lompatan tangga dramatik. Sahabat di Perbatasan Pagi, belum menyodorkan sebuah klimaks dari dramaturgi itu. Suara, telah mampu menutup betapa : membosankannya menonton film, yang didominasi oleh kepala kepala yang bertutur tentang kenangannya, dan memaksa kita untuk bisa mencerna, merangkai dan masuk ke dalamnya. Musik adalah juru selamat, mesias, yang patut dipuji kehadirannya pada setiap proses pembuatan film dokumenter.

Lumrah dan wajar untuk dilakukan, memang. Kenapa ? Waktu 3 bulan, bukanlah rentang yang cukup untuk bisa menghasilkan bentuk karya. Jika Cemeti menyediakan waktu 3 bulan residensi, mungkin sama juga pengalaman Arfan ketika memperoleh beasiswa dari Metro TV ketika membuat Suster Apung. Tetapi ada hal yang membedakan. Di Cemeti, karya tidak harus selesai. Di Metro, karya harus selesai, lantaran sudah ada jadwal tanggal penayangannya, sudah ada para sponsor yang siap memesan slot waktu tayang. Juga, karya harus mudah dicerna untuk penonton televisi.

Tentu, Arfan tidak akan berandai-andai. Sahabat di Perbatasan Pagi, mempunyai benang merah yang jelas. Satu ajakan, mungkin. Yakni, mencoba kembali untuk tidak membunuh kenangan. Bagi saya, Arfan mempunyai sikap yang jelas. Ia berlatar belakang eksak, namun di Makasar ia lebih banyak terlibat dengan upaya untuk memperjuangkan hak korban 1965. Film dengan latar belakang kasus 1965 di Kendari menjadi bukti, bahwa ada ketekunan. Kala itu, ia sempat berucap, akan menyelesaikan dalam waktu lebih dari dua tahun. Sebuah kerja yang standar dalam dokumenter. Tepatnya : bukan film dokumenter yang dipesan atau telah diprogramkan oleh pemerintahan, dan LSM.

Pengalamannya, membuat dokumenter itu butuh proses yang tidak sebentar. Tidak seperti sulapan. Kebayakan suradara dokumenter itu, membuat film – film yang dipesan dan harus selesai tepat pada tanggal pelaporan. Upaya Arfan untuk membuat film kasus 1965 di Kendari, setidaknya mempertegas titik berpijak. Membuat dokumenter, lebih pada sikap. Pada titik manakah kita akan berdiri. Pada siapa kita harus berperan. Film Kendari, sekalipun belum selesai, telah menyadarkan saya, bahwa Arfan memang punya keberpihakan. Namun, menyatakan sikap, bukan persoalan yang mudah, tentunya. “Saya ingin, kisah PKI 1965 di luar pulau Jawa, juga bisa dilihat banyak orang. Selama ini hanya kisah kisah di Jawa saja yang sering di filmkan”. Demikian, Arfan mengatakan pada siang itu.

***

Cemeti telah mengajak Arfan untuk berpetualang. Arfan, tidak saja diberi peluang untuk bisa mengerjakan satu bentuk ekspresi. Satu bentuk cara tutur (boleh dibaca : berkesenian!) Pameran Arfan sendiri, menurut saya telah melangkah pada satu tahap : bagaimana tidak menjadi pembuat film yang egois. Namun tetap menjadi diri sendiri. Cemeti telah membuka ruang, bagaimana bisa memberikan satu pengalaman baru, satu pencapaian kekaryaan yang –mungkin- belum banyak dilakukan oleh para pembuat film dokumenter di tanah air. Bagi pembuat dokumenter, sangat menyenangkan melawati proses ini.

Kenapa pameran ini melahirkan Arfan bukan sebagai pencipta yang egois ? Mengerjakan satu film, walaupun hasil akhirnya nanti hanya 15 menit, tetapi ada begitu banyak kaset yang dihasilkan. Adakalanya seorang pembuat film telah menghabiskan 100 jam kaset, hanya untuk memperoleh hasil akhir 20 menit menjadi film. Yang artinya, pembuat film akan membuang 99 jam 40 menit dari hasil kerjanya di lapangan, hanya untuk satu karya. Jumlah yang tidak terpakai, tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Kemana ? Masuk lemari pendingin kaset agar tidak menjamur ? Atau hanya untuk klangenan pembuatnya ? Yang sekali kali bisa ditonton ? Tak ada yang pernah tahu, tepatnya. Namun dari ruang gelap pameran Arfan, kita bisa menikmati ekspresi-ekspresi dari orang-orang yang selama ini telah mengalami diskriminasi dan memperoleh stigma : “kamu PKI”. Siapapun diajak untuk bisa kembali mengingat sejarah. Bukan untuk membunuhnya, membuangnya jauh jauh. Kotak-kotak televisi yang mengitari tayangan Sahabat di Perbatasan Pagi, menjadi bukti bahwa marilah kita mendengar kisah penuh kenangan. Tidak untuk –malah- membunuhnya.

Jika ada kegelisahan bahwa film Sahabat di Perbatasan Pagi, “ hanya sebuah romantisme, ya memang kisahnya sudah pahit, dan mau diapakan lagi” – demikian ada pertanyaan seorang pengunjung pada diskusi di akhir pameran. Betapa naifnya pertanyaan itu. Kesannya, ya sudah itu faktanya, ngapain dibuat untuk difilmkan, klasik temanya, apa tidak ada yang baru, mungkin menjadi demikian tuntutannya. Sayapun menjadi bimbang. Bingung. Penyakit macam apa ini. Kala itu, saya merasa yang justru terkesan klasik adalah pertanyaan, si penanya. Kenapa kita tidak pernah membuka akan adanya kemungkinan. Kemungkinan yang membuka bagi proses pertumbuhan dan cara pandang ?

Lalu, kenapa kenangan itu harus dibunuh. Siapakah yang sanggup membunuh kenangan ? Kenangan pada orang-orang yang dicinta dan mencinta.

Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page