Paotere

Paotere adalah salah satu dokumenter pendek yang paling saya sukai. Memotret sebuah pasar ikan di Makassar, dokumenter ini merupakan hasil sebuah lokakarya film yang dibimbing oleh seorang pembuat film kenamaan, Leonard Retel Helmrich. Film ini mencoba mengeksplorasi gerak kamera, dengan penggambilan gambar tunggal (single shot), yang telah tampak dalam film-film neorealisme Italia. Gerak kamera tunggal seperti ini telah digunakan oleh Leonard Retel Helmrich untuk menggambarkan kompleksitas interaksi manusia dalam trilogi film tentang Indonesia, Eye of the Day, Shape of the Moon dan Position Among the Stars. Bukan kebetulan bahwa film-film Leonard telah memenangkan berbagai penghargaan prestisius dokumenter.
Andi Arfan Sabran bukanlah nama baru dalam bidang dokumenter. Ia telah membuat documenter pendek sebelumnya, contohnya Suster Apung (2006) yang memenangkan penghargaan sebagai film terbaik Eagle Awards. Kegemarannya pada persoalan-persoalan dan subyek lokal di Sulawesi Selatan membuatnya menduduki posisi yang khas, karena masih jaranglah pembuat film dari Sulawesi masuk lingkaran film di Indonesia yang terpusat di Jakarta. Film Paotere mengetengahkan dua hal menarik dalam kecenderungan dokumenter, pertama, studi antropologi atas sebuah pasar ikan dan kedua, eksperimentasi teknis dalam cara bertutur dokumenter.
moreDokumenter Arfan mengikuti dua orang anak, Reza (9 tahun) dan Arfah (12 tahun). Mereka berdua bekerja di pasar ikan untuk meraih mimpi yang berbeda –dan kebetulan keduanya bukan mimpi klasik macam Laskar Pelangi atau pun film Hollywood. Reza ingin membeli sepatu bola. Arfah ingin membeli baju Muslim sehingga ketika pergi ke masjid, ia bisa seperti yang lain. Dua anak ini diikuti dengan gaya observasional, mengandalkan gerakan kamera yang dinamis dan bahkan sangat ekspresif.
Gaya penceritaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang mudah dipelajari dan dipraktikkan. Namun gaya ini memberikan nuansa yang berbeda dan tentu saja, hasil film yang berbeda karena seperti yang terjadi pada film Paotere, film ini bukan saja menjadi sangat menarik dalam hal pendekatan subyek tapi bagaimana representasi subyek disajikan.
Secara teoritik, André Bazin melihat pengambilan gambar tunggal sebagai sebuah car