top of page

Kesebelasan idola yang urung datang


Paotere, diambil dari nama sebuah pelabuhan perahu di Makassar, adalah satu dari sangat sedikit eksperimentasi direct cinema dalam jagad film dokumenter Indonesia. Tradisi direct cinema, meskipun seringkali dicampur-adukkan dengan konsep cinema verité, adalah sebuah tradisi yang kuat dan telah luas dianut. Salah satu pemanggulnya adalah sineas Frederick Wiseman, yang premis-premisnya diwarisi oleh para pembuat dokumenter baru (New Documentary Movement) dari China seperti Wang Bing dan Lixin Fan. Wang Bing biasanya merelakan durasi filmnya membengkak menjadi sembilan jam demi agar prinsip-prinsip direct cinema itu bisa diterapkan secara utuh. Dalam Paotere, kamera ditempatkan pada level pandang anak-anak untuk memotret dua orang yang diikuti kehidupannya selama dua bulan: Reza dan Arfah yang sehari-hari bekerja di pasar ikan. Mereka menabung demi cita-cita, membeli sepatu bola dan baju koko. Ada penekanan dramatis yang sangat fungsional meskipun film ini tak menggunakan wawancara. Pertama kali, Reza dan Arfah menyambangi pasar untuk membeli baju koko namun uang mereka belum cukup. Impian mereka tertambat pada celengan tanah liat yang harus segera ditambah isinya demi mewujudkan impian, itulah muasal konfliknya. Ketika sedang giat-giatnya, heroisme anak-anak Reza terusik ketika Bom Kuningan meletus dan kesebelasan Idolanya, Manchester United, gagal bertandang ke Jakarta.

Meskipun tampak tak berhubungan, heroisme anak-anak dipotret dengan begitu jujur oleh Paotere. Dulu, ketika Susi Susanti berhasil split di Olimpiade Barcelona 1992, satu Indonesia mengidap demam bulu tangkis yang nyata. Sewaktu pasangan Tony Gunawan dan Chandra Wijaya meraih medali emas di Olimpiade Sydney 2000, entah kenapa di kampung-kampung juga ikut menjamur pertandingan bulu tangkis. Urungnya kedatangan MU menjadi kejadian kecil yang memantik heroisme si anak untuk segera membeli sepatu bola. Bom Kuningan yang disisipkan pembuat film berfungsi sebagai persimpangan ganda baginya, berhenti menabung atau justru semakin giat. Ia memilih pilihan kedua. Kelebihan direct cinema adalah ia bisa memotret realitas dengan intervensi seminimal mungkin. Supervisi Leonard Retel Helmrich atas sutradara Andi Arfan Sabran tampak berhasil di sana sini. Dalam benak saya, bila bukan sutradaranya yang apik memilih tema, maka supervisi ketat Helmrich telah menjadi kunci utama keberhasilan film ini.

Menyoal realitas yang terpotret dalam film dokumenter memanglah runyam. Sejak pertengkaran klasik André Bazin dengan Rudolf Arnheim, sampai pada pertengkaran terkini Noël Carroll kontra Slavoj Žižek, tak pernah terlahirkan definisi tunggal mengenai realisme dan bagaimana wujud aslinya tampak dalam sinema. Realisme tetaplah bergentayangan dibelakang wacana-wacana teoritis; sebagai hantu. Akan tetapi dalam Paotere, saya terhenyak sebab menemukan kembali premis dialektika gambar yang begitu Eisenstenian.[2] Bahwa gambar bergerak pada dasarnya bicara karena dialektika, dan Paotere menggunakan dialektika itu untuk merumuskan objektifitas yang seukuran dengan filmnya sendiri. Tesis dalam Paotere terletak pada eklektisisme tema yang dipilih, yakni ambisi mungil Reza dan Arfah untuk membeli baju koko dan sepatu bola. Setiap shot haruslah dikondisikan untuk mendukung progresi dramatis dari perjalanan ambisi ini, terlepas dari berhasil ataukah tidak. Antitesisnya terlihat pada metode pemilihan singe-shot cinema[3] yang sangat mengandalkan satu pengambilan gambar ketimbang memotongnya. Eklektisisme tema tentu saja ironis dengan teknik single-shot yang justru membatasi pilihan para pembuat film. Kerja kreatif Andi Arfan dan Leonard Hemrich berhasil menemukan objektifitas dalam ukuran mereka sendiri, yakni sintesa dari eklektisisme tema dan metode single-shot. ———–

[1] Syuzhet adalah rentetan plot yang terjadi dalam dunia (dengan segala hukum alamnya). Dunia itu disebutfabula. Istilah ini berasal dari para teoritikus ilmu puitik terutama Tzvetan Todorov. Lihat David Bordwell, Three Dimensions of Film Narrative dalam Poetics of Cinema (2008). Hal 85 – 133.

[2] Terminologi “Eisensteinian” saya jumput dari nama sutradara dan teoritikus film klasik dari Rusia yang memperkenalkan konsep dialektika gambar, Sergei Eisenstein. Lihat Louis Giannetti (1971)

[3] Single Shot Cinema didefinisikan sebagai “a way of filming that ables you to shoot a scene in one single shot using just one camera moving flexible in order to have all the different camera angles that expresses your personal feeling and perception of that moment.” Lihat http://www.singleshotcinema.com/ (diakses tanggal 10 Juli 2011)

Recent Posts